NarasiTimur
Beranda Opini Kemerdekan Demokrasi dan Moral Berpolitik

Kemerdekan Demokrasi dan Moral Berpolitik

Bahrudin Tosofu (Doc Pribadi/narasitimur)

Bahrudin Tosofu
Anggota Komisi Pemilihan Umum Kota Tidore Kepulauan

Dalam bernegara, banyak ragam sistem politik yang digunankan untuk menjalankan roda kekuasaan, dan demokrasi adalah salah satunya. Demokrasi sebagaimana diketahui adalah sistem politik yang digunakan oleh banyak negara di dunia, tidak terkecuali Indonesai.

Demokrasi dipilih sebagai sistem negara oleh sebab adanya keistimewaan-keistimewaan khusus, yang dianggap sangat relevan dengan sosial masyarakat Indonesia yang majemuk.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat k-16, sekaligus yang dianggap sebagai bapak demokrasi menjelaskan bahwa, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Tentu hal ini sejalan dengan cita-cita bangsa dan dasar negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945 dan Pancasila.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan pada sila keempat Pancasila, ditambah dengan alinea keempat UUD 1945 yang menyebut, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

Ini membuktikan bahwa, penggalan kalimat di atas adalah sebagai bukti dan dasar yang kuat bahwa sistem politik kenegaraan kita adalah politik kerakyatan (Demokrasi), yang menjamin hak dan kebebasan rakyat di mata negara, baik berupa ekonomi, hukum, politik dan sosial.

Bahkan, di dalam kehidupan berpolitik, demokrasi dianggap mampu menjaga politik yang bersih dan bermartabat.

Berbicara mengenai demokrasi, tentu bukan hanya berbicara perihal sistem, melainkan pula tentang way of life atau pandangan hidup yang kemudian menjadi laku praktis kehidupan sosial, yang diharapkan menjadi budaya dengan moralitas yang tinggi di masyarakat.

Sejalan dengan model dari spirit demokrasi kita, Donny Gahral Adian dalam pengantar Geneologi moral Friedrich Nietzche menyebutkan bahwa demokrasi berjalan dengan sehat, apabila tidak ada satu kelompok pun yang memutlakan tafsir kebenarannya dan intoleran, terhadap tafsir kebenaran kelompok lain.
Kemutlakan satu tafsir kebenaran adalah bibit totalitarianisme dan merupakan musuh besar demokrasi.

Dengan adanya keterbukaan, toleran dalam sikap dan pandangan, berupaya adil dalam pikiran dan perbuatan diharapkan bisa mewujudkan cita-cita demokrasi, terlebih demokrasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Uraian di atas adalah gambaran mengenai cita-cita luhur demokrasi, dalam menjalankan setiap sendi kehidupan berpolitik dan bernegara, guna mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Meski begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa penyelewengan yang mecederai nilai-nilai demokrasi, dapat dijumpai di mana-mana.

Soekarno sang proklamator mengingatkan, perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri. Dan yang dimaksud Soekarno itu adalah sebagai pengingat ancaman yang dihadapi setelah kemerdekaan.

Populisme, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) seolah-olah tak ada habis-habisnya di negeri ini. Laporan Transparancy International bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara, dengan skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34 dari 0-100 pada 2022.

Praktik-praktik negatif ini tentu sangat mempengaruhi kepercayaan publik, poltik, ekonomi dan kestabilan Negara.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa praktik-praktik negatif yang sangat merugikan itu masih tetap menjadi momok yang menakutkan? Bukankah keadilan dan kesejahteraan yang tercantum dalam sila ke-5 adalah tujuan bangsa, yang secara sadar dan telah diketahui secara bersama-sama? Ataukah demokrasi adalah sekadar omong kosong tanpa makna, yang bila dibenturkan dengan realita kehidupan baik secara politik ataupun sosial.

Dalam berpolitik membutuhkan pandangan hidup yang memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh keinsafan atau kesadaran penuh, akan benar dan salah dalam laku kehidupan, atau disebut pula dengan moral.

Kenapa moral sangat diperlukan dalam berpolitik? Karena yang menjalankan aktivitas politik adalah manusia yang pada dasarnya, memiliki hasrat dan mempunyai kuasa atas kebebasannya.

Potensi-potensi kejahatan dalam berpolitik dapat dilakukan oleh siapa saja, terlebih bagi yang mempunyai peran dalam struktural politik. Ia bisa melakukan apa saja dengan relasi kuasanya.

A.M Safwan, pembimbing pondok pesantren Muthahhari Yogyakarta mengatakan bagaimanapun rasionalitas kita, problem ekploitasi itu adalah hasrat, dan peran akal adalah dapat membimbing kita. Bagaimana pengetahuan dapat membimbing kita? Mensucikan kita?
Kepintaran seseorang dengan gelar yang menterengpun, tidak menjamin ia terhindar dari melakukan kejahatan.

Bukankah dapat kita saksikan, orang-orang yang ada pada struktural politik itu adalah mereka-mereka yang berpendidikan dan bahkan sebagian bergelar tinggi.

Maka, pengetahuan tanpa moral artinya manusia hanya menjadi budak bagi hasratnya sendiri.

Olehnya itu, meskipun diketahui tentang tujuan-tujuan luhur dari demokrasi, keadilan dan kesejahtraan bagi seluruh rakyat, hanya menjadi wacana tanpa makna, bila dalam proses berpolitik ia tidak dapat menegendalikan hasrat-hasrat kekuasannya. (*)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan