11 Warga Maba Sangaji Masih Ditahan Polisi, Akademisi: APH Jangan Melanggar HAM

Narasitimur – Akademisi Fakultas Hukum Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Maluku Utara, Muhammad Tabrani Mutalib, menilai ada kekeliruan terhadap penahanan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, di Polda Malut.
Pada prinsipnya publik akan mendukung penegakan hukum, ketertiban dan keamanan di tengah masyarakat, tetapi kata dia, harus cermat, benar dan manusiawi.
“Tidak boleh Aparat Penegak Hukum (APH) menegakkan hukum dengan cara yang sewenang-wenang, dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Justru hal itu bukan penegakkan hukum yang adil. Sebab aturan ditegakkan dengan cara-cara kejahatan pula. Hal itu justru tidak menyelesaikan akar masalah, dan meninggalkan luka di hati masyarakat adat,” kata Tabrani.
Menurutnya, penegakan hukum di dalam masyarakat demokratis wajib mempertimbangkan HAM, seperti hak untuk mendapat perlakukan yang adil, hak untuk tidak disiksa dan hak tidak diperlakukan semena-mena dalam proses hukum, serta hak untuk bebas menyampaikan pendapat.
Penegakan hukum yang menjunjung HAM, bertujuan untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap terduga, benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta jaminan hak-hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 D ayat (1) jis. Pasal 28 I UUD 1945, Pasal 7 dan 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang HAM dan Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Pasal 14 angka 3 huruf a Konvensi ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU Nomir 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Proses hukum yang mengabaikan rambu-rambu mengenai hak-hak asasi tersebut, dijelaskan, akan berakibat pada rusaknya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan merusak citra Polda Malut sendiri.
“Kalau alasannya para pendemo membawa senjata tajam (sajam), sehingga dijerat dengan UU Darurat, hal itu menurut saya juga berlebihan, karena jika kita bandingkan dengan demonstrasi Pilkada lalu di kantor KPU Malut, masa aksi salah satu paslon kepala daerah juga membawa sajam, dengan mengklaim diri mereka adalah pasukan adat, tapi tidak ditangkap dan dijerat dengan UU Darurat,” sebutnya.
Ini artinya, lanjut dia, ada perlakuan yang berbeda terhadap pendemo warga Maba Sangaji oleh Polda Malut. “Atas dasar itulah, maka perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam memberlakukan ketentuan UU Darurat. Tidak boleh menegakkan hukum pakai kacamata kuda, apalagi konteksnya aksi tentang wilayah hutan adat yang belum ada titik temu dengan pihak perusahaan,” sentilnya.
Bagi dia, akar persoalan ini yang harus diselesaikan lebih dulu dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. “Tidak setiap orang menyampaikan pendapat, direspon dengan langkah-langkah represif APH,” timpalnya.
Ia berujar, bahwa belum lama, Gubernur Malut, Sherly Tjoanda sudah memberikan statemen soal masalah ini. Dan baginya, Ranah penegakan hukum juga kurang bijak, sebab dalam Pasal 25 UU tentang Pemerintahan Daerah mengatur, bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan umum, menyangkut stabilitas keamanan lokal dan potensi konflik sosial, apalagi akar masalah ini soal sengketa lahan yang di atasnya ada perusahaan tambang.
“Oleh karena itu, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di Maluku Utara harus berperan aktif memediasi persoalan ini. Statemen Gubernur itu secara tidak langsung, mengirim pesan kalau gubernur melepas tangan dan tanggung jawab pemerintahan, terhadap tuntutan warga Maba Sangaji. Urusan penegak hukum di kepolisian itu masalah di hilir, tapi persoalan di hulu menjadi kewenangan gubernur dan bupati. Saya sangat menyayangkan statemen ibu Gubernur Malut, padahal dengan terpilihnya beliau menjadi orang nomor 1 di Provinsi Malut, ada harapan besar masyarakat bahwa beliau mampu menyelesaikan masalah-masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh kepala daerah sebelumnya, termasuk persoalan sengketa wilayah hutan adat ini,” ujarnya.
Di sisi lain, dirinya juga menyentil terkait tuduhan aksi premanisme yang pernah disampaikan pihak Polda Malut terhadap belasan warga Maba Sangaji yang ditahan.
“Ini juga tidak bijak, sebab pendemo itu masyarakat adat, bukan ormas yang diketahui publik sering melakukan aksi-aksi premanisme. Terlebih lagi, pendemo yang merasa hak asal-usulnya hanya mempersolakan terkait ruang hidupnya, dirampas oleh aktivitas tambang,” cetusnya.
“Sikap Polda Malut ini menurut saya hanya mencai-cari kesalaha pendemo saja, seperti dites urine dan dilabel pengguna narkoba dan sabagianya. Cara-cara seperti ini kan tidak baik dan tidak menunjukan keprofesionalan polisi. Lalu apa gunanya slogan PRESISI (Prediktif, Responsibilitas dan Transparasi Berkeadilan) yang sering digaungkan oleh Polri. Dari foto-foto yang beredar diberbagai pemberitaan, justru memperlihatkan kebalikan dari slogan itu. Para pendemo diletakkan di lantai seperti pelaku pencuri ayam atau perampokan. Itu sangat tidak enak dilihat dan melukai hati masyarakat adat, serta tidak menunjukan responsibilitas apalagi transparansi berkeadilan, jauh panggang dari api,” tukasnya. (*)