NarasiTimur
Beranda Tajuk Ketika Polisi Tangkap Polisi

Ketika Polisi Tangkap Polisi

Yunita Kadir (Istimewa/narasitimur)

Oleh: Yunita Kadir (Jurnalis)

“Visi Misi Tak Selalu Sejalan Realita”

TERWUJUDNYA POLRI yang profesional, modern, dan terpercaya (Presisi) adalah Visi Mulia Institusi Polri. Atas derajat kemuliannya, terbangun misi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengedepankan teknologi serta inovasi.

Visi yang terang benderang sejatinya menjadi bintang penunjuk arah, bagi seluruh anggota kepolisian dalam bertugas. Tapi kenyataan di lapangan, kadang terasa seperti cermin retak yang memantulkan bayangan berbeda.

Kita tahu, menjadi anggota Polri bukan perkara mudah. Proses seleksinya panjang dan ketat. Ada tes akademik, kesehatan, psikologi, hingga uji integritas. Idealnya, proses ini menghasilkan sosok penegak hukum yang tangguh secara fisik dan matang secara mental.

Namun, yang kerap muncul ke permukaan justru sebaliknya. Kita menyaksikan, bahkan terlalu sering, ada oknum polisi terlibat dalam berbagai kasus yang justru mencederai citra institusinya sendiri. Mulai dari penyalahgunaan narkotika, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, pemukulan, hingga yang paling mengerikan: pembunuhan.

Lalu pertanyaan yang terus bergema di benak publik: Bagaimana mereka bisa lulus tes psikologi? Bagaimana mungkin seseorang yang ditugaskan untuk menjaga hukum, justru melanggarnya? Jadinya, polisi menangkap polisi. Sungguh sebuah Ironi.

Kasus Ferdy Sambo adalah sekelumit cerita yang menjadi narasi besar dan mencatatkan luka mendalam bagi sejarah penegakan hukum kita. belum kering ingatan publik soal itu, muncul lagi kabar mengejutkan: seorang atasan diduga menembak anak buahnya di sebuah hotel, konon karena persoalan perempuan. Ngeri, karena cerita itu bukan fiksi criminal seperti novel cinta, melainkan kenyataan pahit yang terjadi di lapangan dan dipertontonkan ke masyarakat.

Kita bergeser ke Maluku Utara. Di sini, jumlah oknum polisi yang tersangkut kasus hukum, bukan hanya satu dua. Ada yang sampai diberhentikan secara tidak hormat (PTDH). Salah satu yang mencuat: seorang anggota Brimob yang berselisih dengan istrinya, lalu menantangnya untuk melapor ke kantor.

Bukan isi cekcok yang mengejutkan, tapi isi pesan WhatsApp si oknum: “Kalau mau lapor, silakan. Paling juga tidak ditindak. Kasih ‘uang rokok’ saja, beres dan aman.”

Sekilas seperti candaan. Tapi di balik kalimat itu terselip realitas yang getir. Kata “uang rokok” menyiratkan praktik sogokan. Apakah itu hanya kebiasaan pribadi si oknum, atau memang sudah terbangun sistem tak tertulis dalam birokrasi hukum kita?

Pertanyaan itu menggantung dan menyayat. Karena ketika hukum mulai bisa “dibeli”, maka keadilan hanya berpihak pada mereka yang punya uang.

Bagi masyarakat awam, kantor polisi seharusnya menjadi tempat mencari perlindungan. Tapi dengan cerita seperti itu, kantor polisi justru terasa seperti penjara mental, tempat di mana nasib kita bergantung pada siapa yang kita hadapi, bukan pada hukum itu sendiri.

Apakah ini wajah asli Polri di negeri kita? Semoga tidak. Semoga ini hanyalah noda kecil yang bisa dibersihkan dengan komitmen serius dari pucuk pimpinan, termasuk Kapolri.

Kita berharap, setiap kasus pelanggaran hukum oleh oknum aparat, bisa menjadi perhatian khusus, bukan malah ditutupi. Karena kepercayaan masyarakat terhadap Polri tidak dibangun dari spanduk visi dan misi, tapi dari perilaku nyata mereka yang berseragam.

Semoga yang Presisi bukan hanya jargon, tapi juga jalan lurus yang benar-benar diikuti mereka yang bersumpah setia pada bangsa dan hukum. (*)

Wallahu A’lam

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan