Pendemo PT Position Ditangkap, Wahyuni: Saya Bangga Papa Dipenjara Karena Bela Tanah Adat Bukan Korupsi

Narasitimur – Seorang gadis berkerudung hitam, tengah duduk di sudut ruangan. Wajahnya tampak sedih seperti memikul beban yang berat. Namanya Wahyuni Sahrudin, mahasiswi semester akhir di Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Khairun.
Banyak yang tidak mengetahui sosok Wahyuni yang merupakan putri dari salah satu tahanan pada aksi warga Maba Sangaji di PT Position, Halmahera Timur. Sesekali ia duduk diam dan matanya berkaca, saat ditanya ia hanya bisa menjawab dengan nada lirih “saya mau papa bebas”.
Ayahnya Sahrudin Awat yang ditangkap bersama 10 warga Maba Sangaji pada dua bulan lalu di lokasi aksi. 11 warga Maba Sangaji ini dituding menghalangi aktivitas pertambangan PT Position.
Kabar penangkapan itu mengagetkan Wahyuni yang sedang berada di Kota Ternate. Ia sendiri mengetahui ayahnya ditangkap lewat video viral di media sosial. Posisi Wahyuni sebagai seorang anak tentu sakit bercampur sedih saat melihat sang ayah ditangkap oleh aparat kepolisian. Hatinya terasa tercabik-cabik saat melihat video tersebut. Ingin rasanya ia turun tangan membela sang ayah, tetapi aia sadar bahwa mereka hanya segelintir orang kecil yang tak punya apa-apa, kecuali harga diri.
Di antara tubuh-tubuh yang digiring itulah, Wahyuni mengenali wajah yang begitu ia kenal. Ya, ayah kandungnya sendiri.
“Awalnya saya tidak percaya. Tapi saya tahu betul wajah bapak. Itu dia. Itu bapak saya,” ujar Wahyuni saat ditemui sejumlah jurnalis, Senin (21/7/2025) di Ternate.
Setelah melihat video itu, Yuni sapaan akrabnya langsung menghubungi ibunya di kampung yakni Maba Sangaji. Tapi jawaban sang ibu justru membuatnya bingung.
“Mama bilang, tidak mungkin, bapakmu ada di kebun. Tapi saya tahu benar itu papa,” ucap Wahyuni meyakinkan.
Rasa penasarannya semakin tak terbendung. Ia lalu mengirim potongan video kepada ibunya. Tak lama kemudian ibunya menjawab Iya, ternyata benar!.
Wahyuni merupakan anak tunggal dari pasangan Sahrudin Awat dan almarhumah Maskura Ibrahim. Ia menjadi harapan dari ayahnya. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan adat.
Setelah ibunya wafat, Wahyuni tak patah semangat, ia melanjutkan kuliah dengan biaya dari sang ayah yang sehari-harinya bekerja serabutan di kampung. Namun, sayang, setelah ayahnya ditangkap, biaya hidup dan kuliahnya di Ternate tak bisa lagi dilakukan oleh Sahrudin, tetapi dibantu oleh tantenya, yakni adik dari almarhumah ibunya.
“Kalau bukan karena Tante, saya mungkin sudah berhenti kuliah. Saya tidak punya siapa-siapa lagi,” ucap Wahyuni sambil menengok ke arah samping sambil menyeka air matanya dengan ujung kerudung yang ia kenakan.
Saat ini Wahyuni sedang menyusun skripsi, tapi ia merasa ironis karena realitas hidupnya sendiri justru menampar nurani.
“Saya tidak mengerti lagi apa arti keadilan,” cetusnya.
Di layar laptopnya, ia menulis huruf demi huruf demi merampungkan skripsinya. Tapi hatinya terpaut pada hutan, sungai, dan tanah adat yang terus dirampas atas nama investasi.
“Papa tidak merusak, papa tidak membakar, papa tidak merampok. Papa hanya menjaga hutan yang diwariskan oleh leluhur kami,” tegasnya.
Meski begitu, Wahyuni bangga dengan ayahnya yang berani membela dan berjuang untuk kepentingan warga Maba Sangaji. “Saya bangga saya tidak malu papa ditangkap karena membela hak kami. Kalau papa masuk penjara karena korupsi atau mencuri, saya pasti malu. Tapi Papa ditangkap karena membela tanah, karena membela lingkungan. Saya bangga!.
“Saya ingin papa tahu bahwa perjuangan dia tidak sia-sia. Saya akan jadi guru. Saya akan ajarkan ke anak-anak bahwa hutan bukan untuk dijual, dan tanah adat bukan untuk dirampas,” pungkasnya.
Ia berharap negara dan semua pihak membuka mata terhadap apa yang dialami oleh keluarganya dan warga Maba Sangaji.
“Tolong bebaskan papa saya. Beliau tidak bersalah. Dia dan teman-temannya hanya membela hak kami sebagai orang adat. Kami bukan penghambat pembangunan, kami hanya ingin hidup bermartabat di tanah sendiri,” tukasnya. (*)