Soal Tanah Adat di Maluku Utara, Gubernur Sherly Tjoanda Diminta Berinisiatif Koordinasi dengan GTRA

Narasitimur – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia melalui komisi II, mendorong Pemerintah Provinsi Maluku Utara, untuk segera melakukan langkah-langkah percepatan terkait agraria, termasuk tanah adat.
Hal ini disampaikan anggota komisi II, Muhammad Khozin saat melakukan kunjungan kerja ke Ternate, Senin (28/7/2025).
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini, tanah adat dalam sistem agraria sebenarnya sudah diakui, tetapi praktek di lapangan masih banyak ditemui banyak kendala. Di antaranya, kata dia, masyarakat yang kesulitan menunjukan tapal batas penguasaan terhadap tanah adat tersebut.
Sementara di sisi lain, sambung dia, sistem pertanahan di Indonesia sudah harus memiliki sertifikasi. Apakah itu sertifikat hak milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hal Guna Usaha (HGU).
” Pemprov Malut dalam hal ini Gubernur Sherly Tjoanda harus berinisiatif melakukan akselarasi koordinasi dengan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), agar permasalahan segera bisa dilakukan mediasi,” ujarnya.
Apabila mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), maka harus ada lembaga ad hoc yang diisi oleh stakeholder lintas sektoral seperti gubernur, kantor wilayah, kapolda, danrem, kajati, pemerhati agraria, tokoh masyarakat, dan juga LSM.
Lembaga ad hoc bertujuan untuk melalukan filtering dan mitigasi permasalahan sejak awal untuk akselarasi. “Jadi tidak boleh setiap permasalahan di daerah menunggu atau numpuk sampai permasalahan di pusat selesai, karena ini akan memakan waktu yang panjang dan penyelesaiannya lambat,” paparnya.
Permasalah pertanahan yang lain seperti overlapping regulating (tumpang tindih) masih terjadi dalam sistem pertanahan di Indonesia.
“Jadi contohnya, tanah HGU-nya dikuasai oleh BTP, dan BTP kemudian di BUMN, nah BUMN punya peraturan sendiri seperti Permen BUMN terkait dengan aset. Walaupun HGU itu sudah habis, itu masih tercatat. Dan kemudian sekonyong-konyong langsung diserahterimakan, karena masih ada juga kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan. Sama halnya di tanah adat,” terangnya.
“Nah, dari sana kita bisa memotret bahwa ini stakeholdernya ada di kementerian ini. Karena ini juga kalau dibiarkan, maka BPN sendiri dan pemda sendiri ya jadinya tidak akan pernah selesai permasalahannya,” pungkasnya. (*)