Akademisi: Raih Suara Tertinggi Bukan Jaminan Pasti, Jika Ada Gugatan ke MK

Narasitimur – Akademisi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Dr. Abdul Aziz Hakim, SH., MH, mengingatkan kembali bahwa proses atau tahapan pilkada belum selesai sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) RI, memutuskan siapa yang menang dan kalah dalam kontestasi tahun ini.
Bagi mereka yang meraih suara tertinggi, kata Aziz, belum ada jaminan pasti untuk memenangkan pilkada dan sebaliknya, mereka yang meraih suara rendah belum bisa diklaim kalah dalam pertarungan.
Aziz yang merupakan Advokat Ganjar-Mahfud dalam sengketa pilpres ini, pemenang pilkada serentak di seluruh Indonesia termasuk di Maluku Utara nampaknya belum bisa eforia, dan kemenangan yang telah ditetapkan KPUD, masih berpotensi gugur karena hukum.
“Apalagi MK sendiri sebagai peradilan pilkada tingkat akhir, telah menyatakan bukan lagi sebagai mahkamah kalkulator alias hanya mengadili perkara sengketa hasil suara, yang fokus pada raihan angka-angka suara semata. MK katanya bakal mengadili perkara pilkada yang bersifat dismisal atau melebihi 2-3 persen, dan menyasar pelanggaran yang terbukti memenangkan paslon pemenang,” terang Aziz kepada media ini, Jumat (6/12/2024).
Ia menjelaskan, bahwa sistem hukum pemilu atau pilkada kita, sangat memungkinkan peraih suara tertinggi bisa saja tidak memenangkan pertarungan, jika terbukti oleh majelis hakim konstitusi melakukan pelanggaran berat seputar tahapan pilkada.
Doktor lulusan Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini memberikan contoh beberapa daerah seperti Kabupaten Boven Digoel, dan Yanimo di Papua serta Kabupaten Sabu Raijua, NTT dan beberapa kabupaten lainnya.
“Dan itu, terbukti mahkamah mendiskualifikasi paslon yang meraih suara tertinggi, yang selisihnya jauh dari paslon lain,” sebutnya.
Aziz menegaskan, bahwa ada potensi besar dalam Pilkada 2024, MK akan memutus diskualifikasi atau pembatalan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah hasil pleno KPUD, jika ada pelanggaran yang sejenis seperti terjadi di beberapa daerah tersebut.
“Tradisi dan sistem hukum kepemiluan kita sangat menjamin adanya diskualifikasi, karena sudah banyak putusan MK yang akan dijadikan jurisprudensi pada proses sidang kali ini,” tegas Sekretaris DPP APHTN-HAN itu.
Meski begitu, sambung dia, tentu kita sangat menghargai hasil pleno rekapitulasi KPUD karena itu merupakan proses hukum kepemiluan, akan tetapi hasil pleno ini merupakan hasil perolehan sementara, jika ada gugatan ke MK.
“Dalam konteks penegakan hukum kepemiluan, kita sangat menghargai putusan KPUD soal hasil perolehan suara, tetapi hal ini masih bersifat sementara jika ada gugatan,” tambahnya.
Aziz juga mengimbau kepada seluruh masyarakat khususnya di Maluku Utara agar memahami benar sistem hukum kepemiluan, agar tidak terjebak dengan informasi yang sesat terkait sistem hukum kepemiluan.
“Prinsipnya bahwa proses pilkada sudah memasuki babak akhir sehingga, jika masih ada gugatan ke MK, kita sebagai warga negara yang baik harus taat hukum dengan menunggu putusan MK untuk memutus siapa yang kalah dan menang dalam pilkada ini, serta apakah dalam putusan nanti akan ada pemungutan/perhitungan suara ulang. Mekanisme gugatan/permohonan ke MK merupakan ruang ideal bagi pencari keadilan demokrasi dan konstitusi, dan sebagai ikhtiar akhir yang diberikan oleh negara kepada warganya, untuk menuntut pemilu yang jurdil dan berintegritas. (*)