Polemik PT Position: Anak Perusahaan Konglomerasi yang Diduga Sulap IUP, Warga Maba Sangaji Jadi Tumbal

Narasitimur – PT Position yang terletak di Halmahera Timur, Maluku Utara, merupakan anak usaha konglomerasi tambang nasional yang kini berdiri di atas tanah yang disengketakan.
Persoalan ini mengangkat dugaan serius soal permainan birokrasi dan oligarki yang melanggar hukum.
PT Position adalah anak perusahaan dari PT Tanito Harum Nickel, yang merupakan bagian dari Harum Energy Tbk, konglomerasi tambang milik taipan Kiki Barki. Dalam struktur komisarisnya, tercatat pula nama mantan Jaksa Agung Basrief Arief, mempertegas kedekatan bisnis dan kekuasaan.
Awalnya, SK Bupati Halmahera Timur No. 188.45/540-05/2010 menetapkan IUP PT Position seluas 4.047 hektare berdasarkan delapan titik koordinat resmi. Namun, ketika data IUP itu masuk ke sistem nasional Kementerian ESDM (MODI), angka koordinatnya melonjak menjadi 68 titik.
Artinya, ada perluasan wilayah secara diam-diam yang tak sesuai SK awal. Imbasnya, wilayah tumpang tindih dengan IUP milik PT Wana Halmahera Barat Permai (WHBP) seluas 1.053 ha, yang seharusnya legal berdasarkan SK Gubernur 2020.
Perluasan lahan ini tak hanya melanggar prosedur, tapi juga memasuki konsesi perusahaan lain, seperti PT Wana Halmahera Barat Permai (WHBP) dan PT Wana Kencana Mineral (WKM). Kedua perusahaan itu menyatakan wilayah konsesi mereka, diserobot tanpa dasar hukum.
Kuasa hukum PT WHBP melaporkan dugaan pemalsuan SK Bupati itu ke Bareskrim Mabes Polri, dan juga melibatkan mantan Bupati dan Kepala Dinas Pertambangan setempat sebagai tersangka.
“Ini bukan sekadar salah input. Ini skema sistematis untuk memperluas tambang di atas hak orang lain,” ujar seorang sumber internal yang tengah terlibat dalam pelaporan kasus ini ke Bareskrim Mabes Polri.
Lebih parahnya, investigasi lapangan menunjukkan bahwa PT Position juga membuka jalan tambang di dalam kawasan hutan produksi terbatas (HPT) tanpa IPPKH-izin yang wajib dimiliki, jika membuka lahan di kawasan kehutanan.
Kegiatan ilegal ini terpantau dalam wilayah konsesi PT WKM. Tim investigasi yang dipimpin Polri dan Dinas Kehutanan menemukan lebih dari 7 ha kawasan terbuka, yang dibabat tanpa dokumen resmi. Bukti-bukti itu kini masuk dalam berkas penyelidikan resmi.
Penggusuran tanpa izin itu dilakukan dalam konsesi milik PT Wana Kencana Mineral (WKM). Ketika PT WKM mengajukan investigasi bersama Polri, PT Position menolak ikut inspeksi, lalu proses penyelidikan berlangsung dan ditemukan areal 7,3 hektare terbuka, tanpa izin di IUP WKM, sebuah praktik ilegal yang terancam pidana kehutanan.
Laporan sebuah LSM dan proses resmi ke Bareskrim menimbulkan pertanyaan besar. Apakah izin diperluas sebagai bagian dari skema oligarki dan nepotisme? Dugaan menggunakan dana publik untuk membeli saham, dan memanipulasi izin menambah gelap potensi korupsi tersebut.
Sementara itu di sisi lain, warga dipenjara karena membela tanah, perusahaan berjalan leluasa di bawah naungan kekuatan politik dan modal.
“Inilah wajah oligarki pertambangan. Tanah dirampas, suara rakyat dibungkam,” kata salah satu aktivis Maluku Utara, yang aktif mengadvokasi kasus ini.
Di sisi lain, pemerintah desa setempat justru ikut-ikutan diam. Padahal, kenyataan di lapangan, warga Maba Sangaji dan sekitarnya menyaksikan langsung dampak dari operasi tambang. Kali Sangaji tercemar, ikan-ikan mati, dan tanaman seperti pala, cengkeh, kelapa juga pohon pisang tertimbun lumpur.
Kompensasi yang diberikan pihak perusahaan kepada warga hanya sebatas “tali asih” sebesar Rp5 miliar yang dibagi rata ke warga. Per keluarga hanya menerima sekitar Rp300 ribu, jumlah ini bahkan tak setara upah harian.
“Tanah kami dihargai Rp2.500 per meter, sama dengan sebungkus rokok. Lalu kami diminta diam?” ujar Ahmad, warga Maba Sangaji, saat ditemui awak media, pada Minggu (20/7/2025) di kediamannya.
Terpisah, kepala desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud, justru menyatakan bahwa uang tersebut adalah bentuk “kompensasi sosial”, bukan ganti rugi. Nominalnya Rp10 miliar yang diterima dua tahap. Pernyataan itu memperkuat dugaan bahwa aparatur desa telah menjadi kepanjangan tangan perusahaan, bukan pelindung warganya.
Tumpang tindih lahan tambang di Halmahera Timur bukan peristiwa tunggal. Menurut data Dinas ESDM Maluku Utara, setidaknya empat perusahaan memiliki IUP yang saling bersinggungan di kawasan yang sama, dari PT Position, PT WKM, PT WHBP hingga satu perusahaan baru yang sedang mengurus IUP di kawasan tersebut.
Hal ini, terbukti bahwa tidak sinkronnya basis data MODI dan informasi pemerintah daerah, manipulasi titik koordinat, serta dugaan kuat adanya “jual beli” rekomendasi teknis. Dalam banyak kasus, hal ini terjadi melalui permainan birokrasi antara oknum pemda, dinas teknis, dan elit perusahaan tambang.
“Tanpa permainan uang dan kekuasaan, perluasan IUP semacam ini tidak mungkin lolos,” ungkap seorang mantan pejabat yang kini menjadi whistleblower.
Kehadiran PT Position inilah yang membuat warga geram lantaran bukan hanya penyerobotan lahan, tetapi pencemaran lingkungan, terutama wilayah adat yang mereka jaga sedari dulu. (*)