Pembebasan 11 Warga Maba Sangaji Diserukan, Mika Ganobal Kritisi Kriminalisasi Masyarakat Adat

Narasitimur – Dukungan terhadap pembebasan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang ditahan lantaran menghalangi aktivitas PT Position, mengalir terus.
Kali ini dukungan datang dari para aktivis adat, Mika Ganobal. Mika merupakan penerima Right and Resources Initiative (RRI) Award 2025 di Kathmandu, Nepal.
Mika bersama Gerakan #SaveAru, yang selama ini dikenal lantang membela hak-hak masyarakat adat Kepulauan Aru, kini menyatakan solidaritas penuh terhadap warga Halmahera Timur yang tengah dikriminalisasi, karena menolak tambang.
“Mereka tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin dihormati di atas tanah leluhurnya,” kata Mika Ganobal, Sabtu (26/7/2025).
Bagi Mika Ganobal, ini adalah contoh nyata penggunaan hukum sebagai alat represi terhadap masyarakat adat, yang memperjuangkan hak atas tanah dan ruang hidupnya.
“Penolakan masyarakat adat Maba Sangaji terhadap PT Position bukan penolakan atas pembangunan. Tapi bentuk perlawanan terhadap pengabaian hak-hak atas tanah adat mereka,” ujar Mika, yang juga merupakan tokoh masyarakat adat dari Kepulauan Aru, Maluku.
Sebagai sesama masyarakat adat, Mika menegaskan, bahwa pihaknya komitmen solidaritas terhadap perjuangan Maba Sangaji. Ia menyebut bahwa bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar fungsi ekologis, tetapi juga ruang sakral yang diatur oleh hukum adat, relasi spiritual, dan keputusan kolektif.
“Hutan adalah sumber hidup, ruang belajar, dan warisan leluhur. Itu sebabnya harus dijaga,” tegas Mika.
Bahkan, Mika menyayangkan pada aksi damai yang digelar warga pada Mei lalu, di mana sekitar 300 orang turun ke jalan menolak tambang, namun justru dibalas aparat dengan tindakan represif. Mika mengecam keras tindakan itu.
“Alih-alih membuka ruang dialog, aparat malah membubarkan aksi dengan gas air mata dan kekerasan,” ucapnya.
Dirinya menyebut, bahwa warga tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan maupun pemberian izin tambang oleh negara dan korporasi. Tidak ada konsultasi, tidak ada persetujuan adat. Hanya tiba-tiba, tanah leluhur mereka ditetapkan sebagai wilayah tambang.
“Mereka hanya mendengar kabar bahwa lahan mereka telah berizin untuk dikeruk. Tapi tidak pernah ada dialog, apalagi surat,” sebutnya yang sudah mendapat laporan atas masalah warga Maba Sangaji dan PT Position.
Ia juga menekankan, bahwa Gerakan #SaveAru menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat terhadap 11 warga yang ditahan, dan meminta negara menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
“Negara harus menyelesaikan konflik seperti ini dengan adil, partisipatif,” pungkasnya.
Sekasar diketahui, 11 warga Desa Maba Sangaji saat ini mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri (Kejari) Soasio Tidore Kepulauan, setelah ditangkap oleh Polda Maluku Utara pada Mei lalu.
Belasan warga ini dikenai Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 (membawa senjata tajam tanpa izin), Pasal 162 UU No. 3/2020 tentang Pertambangan (merintangi tambang berizin), dan Pasal 368 KUHP (pemerasan dan pengancaman). (*)