NarasiTimur
Beranda Hukum 8 dari 11 Warga Adat Maba Sangaji Hari Ini Resmi Bebas dari Rutan Soasio Tidore

8 dari 11 Warga Adat Maba Sangaji Hari Ini Resmi Bebas dari Rutan Soasio Tidore

8 warga adat Maba Sangaji yang bebas hari ini (Istimewa)

Narasitimur – Delapan dari 11 warga adat Maba Sangaji yang ditahan di Rutan Soasio Tidore Kepulauan, Maluku Utara, pada Jumat (24/10/2025) akhirnya menghirup udara bebas.

Suasana haru mewarnai pembebasan para pejuang lingkungan di Halmahera Timur ini.

Sekadar diketahui, 11 warga ini ditahan sejak 19 Mei 2025. Dalam sidang putusan, Pengadilan Negeri Soasio memvonis mereka hukuman 5 bulan 11 hari penjara untuk 8 warga, sementara tiga lainnya mendapat vonis tambahan 2 bulan penjara.

8 warga yang resmi bebas hari ini adalah Sahrudin Awat, Julkadri Husen, Sahil Abubakar, Yasir Hi. Samad, Hamim Djamal, Jamaludin Badi, Umar Manado, dan Salasa Muhammad. Sementara Indrasani Ilham, Alaudin Salamudin, dan Nahrawi Salamudin masih menjalani sisa masa tahanan.

“Hari ini 8 warga binaan Rutan Soasio dari Maba Sangaji resmi bebas murni setelah menjalani masa pidana selama di dalam rutan,” ungkap Kepala Kanwil Ditjenpas Maluku Utara Sa’id Mahdar.

Menurutnya, pembebasan 8 warga ini merupakan hasil dari proses hukum yang berjalan secara transparan, profesional, dan berkeadilan.

“Kekerasan hanya membawa kehancuran dan kerugian bagi diri sendiri. Ini menjadi pelajaran agar ke depan mereka bisa lebih berhasil dan berkontribusi positif di tengah masyarakat,” tandasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyatakan keprihatinan mendalam atas vonis penjara yang dijatuhkan PN Soasio terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur. Ia menilai kasus ini mencerminkan ketegangan serius antara kepentingan ekonomi, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan ketimpangan regulasi dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia.

“Dalam perspektif reformasi regulasi dan hak asasi manusia, kami menilai bahwa peraturan dan praktik hukum yang ada masih belum sepenuhnya mampu memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat adat dan pejuang lingkungan,” kata Andreas dalam keterangan persnya.

Menurut Andreas, putusan pengadilan yang menolak mengakui warga Maba Sangaji sebagai pembela hak atas lingkungan hidup memperlihatkan adanya celah besar dalam harmonisasi hukum antara Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

“Dan tentunya ini sangat disayangkan. Vonis hukum bagi warga yang mempertahankan tanah adat mereka sendiri menunjukkan gagalnya sistem peradilan dalam membela hak-hak masyarakat,” tukasnya.

Andreas menegaskan, hak masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat merupakan bagian integral dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.

“Setiap tindakan warga dalam mempertahankan ruang hidupnya tidak seharusnya dikriminalisasi. Negara wajib memastikan bahwa hukum tidak digunakan untuk membungkam partisipasi masyarakat, terutama kelompok adat yang rentan terhadap tekanan struktural dan korporasi,” tegas Andreas.

Andreas pun memandang kasus Maba Sangaji merupakan cermin lemahnya tata kelola regulasi yang tumpang tindih, tidak berpihak, dan gagal memberikan ruang keadilan bagi masyarakat lokal. Sebab regulasi pertambangan memberikan perlindungan kuat bagi investasi.

“Di sisi lain, regulasi lingkungan dan hak masyarakat adat masih bersifat deklaratif tanpa mekanisme perlindungan yang efektif,” sebut Andreas.

Sebagai alat kelengkapan DPR yang memiliki mandat untuk memperkuat sistem hukum dan reformasi regulasi nasional serta perlindungan HAM, Komisi XIII DPR mendorong harmonisasi antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Masyarakat Adat. Andreas mengatakan, setiap kebijakan dan proses penegakan hukum berorientasi pada keadilan ekologis dan hak asasi manusia.

“Kami juga meminta evaluasi terhadap penerapan Pasal 162 UU Minerba, di mana seringkali digunakan untuk menjerat warga yang menolak aktivitas tambang, sehingga berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” ujar Legislator dari Dapil NTT I itu.

Lebih lanjut, Andreas mendorong Mahkamah Agung dan Komnas HAM untuk melakukan kajian terhadap putusan Pengadilan Negeri Soasio, serta memastikan bahwa asas-asas hak asasi manusia tidak diabaikan. Termasuk hak atas lingkungan dan hak atas peradilan yang adil.

“Komisi XIII DPR mendorong adanya reformasi regulasi sektor sumber daya alam, agar prinsip human rights due diligence menjadi bagian wajib dalam setiap kegiatan investasi, terutama di wilayah yang bersinggungan dengan komunitas adat dan ekosistem penting,” papar Andreas.

Andreas menegaskan bahwa reformasi hukum tidak hanya soal peraturan baru, tetapi tentang memastikan hukum hadir untuk melindungi yang lemah, bukan menguatkan yang kuat.

“Negara harus berdiri di sisi keadilan, menjamin hak-hak masyarakat adat untuk mempertahankan ruang hidupnya, serta memastikan pembangunan ekonomi tidak mengabaikan nilai kemanusiaan dan kelestarian lingkungan. Jangan ada kriminalisasi bagi warga yang membela, berjuang dan mempertahankan hak-hak adat mereka, termasuk hak atas tanah leluhur mereka,” pungkas politikus Fraksi PDI-Perjuangan itu. (*)

Join channel telegram websitekami.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan